Sejak
tiga tahun lalu pekerjaan saya menuntut saya untuk banyak bertemu dengan orang,
sehingga banyak orang yang saya temui dan banyak cerita yang saya dapatkan.
Bulan
lalu saya bertemu dengan manajer akunting sebuah pabrik garmen yg sudah bekerja
20 tahun, baru saja di PHK dan beberapa bulan lalu salah seorang teman
saya yang bekerja selama 3 tahun di sebuah perusahaan tower mengalami nasib yang
sama, karena lesunya ekonomi saat ini biaya kebutuhan perusahaan
meningkat..namun daya beli masyarakat menurun.
Tadi
pagi saya bertemu dengan kenalan saya yang merupakan pengusaha warnet yang
ternyata terkena juga imbasnya..dan mengalami penurunan laba hampir 50%, tarif
dasar listrik meningkat namun uang saku anak-anak yang biasa bermain game mulai
menurun sehingga mereka mulai sering dilarang orang tuanya untuk bermain di
warnet miliknya. Tapi ia bercerita juga bahwa justru para pedagang kaki lima
yang mampu kuat bertahan tak tergoyahkan, salah satunya seorang pedagang nasi
goreng yang setiap malam melewati rumahnya tetap stabil dengan omzet harian
mencapai Rp.500.000 tanpa harus menaikan harga produknya, dan sy pun teringat
cerita seorang teman yang menjual bubble drink dengan konsep food truck dapat
meraih omzet yang sama hanya dengan 3-4 jam berjualan di tempat yg strategis.
Bayangkan sebenarnya saat industri yang terbilang mayor jatuh karena masih memberdayakan impor luar negeri..
Usaha kecil yang bergerak secara gerilya di jalanan bisa lebih kreatif untuk bertahan menjalankan bisnisnya.
Kalau dihitung malah sebenarnya keuntungan yang mereka peroleh jauh lebih besar daripada kita-kita yang berpenghasilan sebagai karyawan.
Banyak usaha kecil yang panik sebenarnya karena masih jauh dari pembinaan dan pemberdayaan pemerintah, bisnis tempe anjlok ya wajar..pakai kedelai impor. Sebaliknya saat kita memiliki barang yang cukup baik malah tidak dilirik, contohnya petani tomat yang menjual tomat mereka hanya 500 rupiah per Kg ke pasar, dan pasar hanya menjual 2000 rupiah per Kg ke masyarakat..harga yang murah karena tidak diberdayakan oleh para pelaku usaha..mereka memilih memakai saus impor ataupun saus abal-abal yang sudah dicampur bahan pewarna/pengawet untuk usaha kuliner mereka tanpa memperdulikan akibat, yg penting biaya murah.
Banyak org Indonesia yang menganggap merek luar negeri memiliki kualitas lebih baik..yang sebenarnya tanpa sadar berperan menaikkan harga dollar dan lesunya ekonomi skr.
Jadi kenapa kita tidak ikut berperan dari sekarang dengan mulai memberdayakan sumber daya lokal sekarang, atau mau tunggu petani tomat berhenti menanam tomat? Dan akhirnya tomat kita impor juga?
Bayangkan sebenarnya saat industri yang terbilang mayor jatuh karena masih memberdayakan impor luar negeri..
Usaha kecil yang bergerak secara gerilya di jalanan bisa lebih kreatif untuk bertahan menjalankan bisnisnya.
Kalau dihitung malah sebenarnya keuntungan yang mereka peroleh jauh lebih besar daripada kita-kita yang berpenghasilan sebagai karyawan.
Banyak usaha kecil yang panik sebenarnya karena masih jauh dari pembinaan dan pemberdayaan pemerintah, bisnis tempe anjlok ya wajar..pakai kedelai impor. Sebaliknya saat kita memiliki barang yang cukup baik malah tidak dilirik, contohnya petani tomat yang menjual tomat mereka hanya 500 rupiah per Kg ke pasar, dan pasar hanya menjual 2000 rupiah per Kg ke masyarakat..harga yang murah karena tidak diberdayakan oleh para pelaku usaha..mereka memilih memakai saus impor ataupun saus abal-abal yang sudah dicampur bahan pewarna/pengawet untuk usaha kuliner mereka tanpa memperdulikan akibat, yg penting biaya murah.
Banyak org Indonesia yang menganggap merek luar negeri memiliki kualitas lebih baik..yang sebenarnya tanpa sadar berperan menaikkan harga dollar dan lesunya ekonomi skr.
Jadi kenapa kita tidak ikut berperan dari sekarang dengan mulai memberdayakan sumber daya lokal sekarang, atau mau tunggu petani tomat berhenti menanam tomat? Dan akhirnya tomat kita impor juga?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar