“Malam di Araaab, seperti siaangnyaaa
Menggoda hati, melompat dan terbang
Hati berdebaar..”
![]() |
Ilustrasi adegan karpet terbang Aladdin & Princess Jasmine di film live action Aladdin. Picture courtesy of Disney |
Begitu bunyi lirik yang terngiang di kepala saat menyaksikan
dan mendengar intro adegan film live
action Aladdin yang tayang mulai bulan Mei lalu (kalau nadanya nggak kebayang, coba cari lagunya di youtube). Saya baru sadar kalau lagu
“Malam di Arab” yang diputar di seri kartun Aladdin pada program TV Klab Disney
Indonesia dulu merupakan lagu terjemahan langsung dari lagu “Arabian Nights”
yang juga menjadi lagu pembuka di film versi sinemanya.
Film animasi Aladdin ini memang sangat berkesan buat saya,
karena merupakan film kedua setelah Home Alone 2 yang saya tonton langsung di
bioskop setelah lahir ke dunia. Padahal kata orang, ingatan semasa balita itu
terbilang sulit diingat. Namun saya mampu membayangkan dengan baik saat-saat di
mana saya duduk di kursi Bioskop Galaxy 21 bersama ayah saya, dan melihat bagaimana
adegan fenomenal Aladdin dan Jasmine mengendarai karpet terbang keluar dari
kerajaan Agrabah. Mungkin itu salah satu alasan saya menjadi orang yang berkarakter
sangat visual hingga sekarang. Setelah menonton film tersebut pun saya
dibelikan komik yang dibuat berdasarkan persis adegan-adegan filmnya di Toko
Buku Gunung Agung, Kings Shopping Center.
Dalam ingatan saya, Kings Shopping Center, Bioskop Galaxy,
Aladdin, dan pengalaman nonton film secara sinematik itu merupakan satu
kesatuan. Mulai dari live action Casper,
hingga film Avengers pertama yang tayang tahun 2012 pun masih saya tonton di
bioskop ini. Selain karena lokasinya dekat, harga tiketnya pun hanya Rp13.000
untuk akhir pekan. Harga ini jauh lebih murah dibandingkan bioskop-bioskop lain
yang kala itu sudah memasang tarif Rp25.000/seat.
Walaupun memang potongan tiket yang diberikan agak sedikit “antik” untuk brand sekelas 21. Potongan tiket
tersebut layaknya sebuah karcis bus atau karcis parkir pinggir jalan. Nomor
tempat duduknya pun ditulis dengan spidol. Sementara nominal harga tiketnya
dicap tinta. Namun, kebiasaan nonton di Galaxy pun kemudian terhenti sejak
bangunan Kings Shopping Center terbakar pada tahun 2014 silam.
Potongan tiket nonton di Bioskop Galaxy tahun 2012. |
Lima tahun kemudian, tepatnya pada pertengahan April 2019, bangunan
mall berlogo mahkota ini mulai menunjukan pertanda kebangkitannya. Dari arah pusat
perbelanjaan Yogya Kepatihan, logo brand CGV,
sebuah perusahaan cinema yang menjadi kompetitor XXI mulai nampak di bangunan
Kings Shopping Center yang sudah terlihat bentuknya. Hal itulah yang kemudian
mendorong saya menonton live action Aladdin
di Kings Shopping Center sebulan setelah mall ini diresmikan, walaupun tentunya
dengan sebuah kesan yang jauh berbeda.
Entah kenapa, hal-hal bernuansa nostalgia memang selalu
menarik hati manusia. Begitu pulalah cara Disney memasarkan film yang satu ini,
dengan menjual nostalgia. Setelah melewati lebih dari 1001 malam, lagu “A whole
new world” kembali menyentuh telinga dan ingatan pendengarnya di seluruh platform audio, dan social media, serta di-cover
oleh banyak pembuat konten musik. Performa lagu ini dalam mempromosikan
film Aladdin justru lebih baik dari trailer filmnya sendiri yang dianggap banyak
orang tak semenarik film animasinya dulu. Anggapan tersebut tentu bukan tanpa
alasan, dalam beberapa tahun ke belakang Disney cukup banyak menghidupkan
karakter film animasinya menjadi tayangan live
action, namun hanya Beauty and the Beast yang mendapat respon cukup baik dari
penggemarnya. Di samping itu padahal ada Dumbo, Alice in Wonderland, the Jungle
Book, Cinderella, dan Christopher Robin.
Dalam tayangan trailernya, sosok jin lampu a.k.a Genie yang
kini diperankan oleh Will Smith dinilai sangat aneh penampilannya, terutama
saat ia berwarna biru, dan berukuran raksasa. Hal ini tentu berbeda dengan saat
Robin Williams mengisi suara Genie pada film Aladdin tahun 1992, saat itu sosoknya
dapat diganti wujud animasi. Sama halnya dengan suara-suara sumbang netizen di social media, saya pun berpikir
demikian. Namun ternyata, prediksi publik dapat ditepis dengan baik ketika film
berlatar Timur Tengah ini mulai tayang. Beragam komentar positif pun kian memperkuat
niat saya membeli tiket film ini.
Bagi saya pribadi, Agrabah versi live action seperti layaknya Wakanda dan dunianya Avatar yang
dibuat oleh James Cameron dulu, indah dan menakjubkan. Kalau memang
negeri-negeri tersebut ada di dunia nyata, mungkin bisa menjadi tujuan wisata
populer. Tingkah lincah Mena Massoud sebagai Aladdin saat beraksi di dalam kota
pun sangat memukau. Aksi dan pengambilan gambarnya bahkan lebih baik dari aksi
Dastan yang diperankan oleh Jake Gylenhaal di Prince of Persia.
Penampilan Naomi Scott yang memerankan Princess Jasmine pun tak kalah apik, dan sepertinya akan sangat memorable hingga bertahun-tahun ke
depan. Lebih memorable tentunya
dibandingkan dengan perannya sebagai Kimberly di film Power Rangers tahun 2017
lalu. Dan sekaligus menjadi sebuah promosi yang baik untuk reboot film Charlie’s Angels akhir tahun ini yang juga diperankan
olehnya. Saya yang awalnya tak tertarik pun memastikan niat untuk menonton film
ini nantinya.
Hal menarik lainnya ada di sisi Genie. Will Smith dengan
aksen nigger-nya cukup berhasil
keluar dari bayang-bayang Genie versi Robin Williams. Ia tidak berusaha menjadi
Genie-nya Robin Williams, namun berhasil menyiptakan Genie versinya sendiri
yang lebih hip hop, tapi tetap ikonik. Dalam sebuah sesi talk show bersama
Ellen Degeneres, ia mengatakan bahwa ia memasukan personanya saat bermain dalam
“The Fresh Prince of Bel-Air” ke dalam karakter Genie. Alhasil, lahirlah sosok Genie
baru yang tak kalah kocak dari sebelumnya.
Di samping penampilan para pemerannya, secara keseluruhan, live action Aladdin ini juga berhasil
mewujudkan efek-efek kartun ke dalam filmnya dengan sangat baik dan
menyenangkan. Mungkin hal yang kurang buat saya hanya karakter Jafar yang
terasa kurang evil, dan Iago, burung
Macaw kesayangannya yang kurang cerewet dibanding di film animasinya. Entahlah
apa jadinya bila Tom Hardy yang sempat diisukan memerankan tokoh Jafar jadi
melaju.
Satu hal yang pasti, film Aladdin ini sangat berhasil memicu
sisi kenangan personal saya pada romansa era tahun 90-an, meskipun tidak
berhubungan langsung. Pengalaman pertama nonton di bioskop Kings Shopping
Center, kegemaran dengan beragam buku komik dan tokoh kartun, serta ingatan
akan jalan-jalan dan belanja bersama keluarga setiap bapak gajian.
0 komentar:
Posting Komentar